Pembatasan Sosial Selama Pandemi COVID-19 – Penyebaran virus corona telah mencapai banyak negara, sekitar 181 negara terpapar, sehingga dinyatakan sebagai pandemi global oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Berbagai upaya dilakukan untuk menahan penyebaran virus ini, salah satunya adalah dengan pembatasan interaksi antar anggota masyarakat (social distancing).

Berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pembatasan sosial berskala besar adalah bagian dari respon kedaruratan dan bertujuan untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit. joker123 deposit pulsa

Pembatasan Sosial Selama Pandemi COVID-19

Kegiatan pembatasan ini mencakup: peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat/fasilitas umum (Pasal 59). joker388 deposit pulsa

Saat ini, sejumlah pemerintah daerah telah meliburkan sekolah dan kampus agar siswa/mahasiswa bisa belajar di rumah. Lembaga keagamaan (MUI) juga mengeluarkan fatwa yang menganjurkan ibadah di rumah dan tidak ke masjid sementara waktu.

Sebagai mitigasi darurat, anggota masyarakat yang berinteraksi dengan penderita COVID-19 atau mengunjungi wilayah yang terinfeksi wabah, maka dilakukan karantina rumah atau wilayah, serta dipantau kondisinya selama masa inkubasi virus. Bila kondisi sehat (uji virus negatif), maka bisa tetap di rumah dan mengurangi aktivitas di luar.

Jika hasil tesnya positif (terkena virus), maka akan dirawat di rumah sakit dan mungkin diisolasi di ruang khusus. Bila kondisi pasien memburuk dan akhirnya meninggal, maka penanganan jenazah juga harus dilakukan secara khusus.

Pembatasan Sosial sebagai Tahap Awal

Dari proses tersebut kita paham bahwa pembatasan merupakan tahap awal untuk mencegah penyebaran virus. Pada tiap tahap penanggulangan wabah terjadi pengetatan ruang gerak individu hingga ke level ekstrem: diisolasi atau dimakamkan secara khusus. Tentu saja hal itu berpengaruh kepada kondisi kejiwaan pasien atau keluarga terdekatnya.

Oleh sebab itu, upaya apapun yang ditempuh untuk menanggulangi wabah – secara medis atau nonmedis – harus mempertimbangkan konsekuensi psikologis dan sosial.

Implementasi pembatasan sosial harus berdasarkan pertimbangan epidemiologi, besarnya ancaman, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan; sehingga mungkin terjadi perbedaan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan kondisi wilayah.

Jarak Sosial dalam Berbagai Dimensi

Jarak sosial dapat dilihat dalam beberapa dimensi. Pertama, dimensi afektif, seberapa besar simpati yang dirasakan anggota suatu kelompok terhadap kelompok lain. Gejala itu diukur dalam skala berdasarkan konsepsi subyektif pelaku di dalam pergaulan sosial.

Kedua, dimensi normatif, mengacu pada norma-norma yang diterima secara luas dan secara sadar diposisikan tentang siapa yang harus dianggap sebagai “orang dalam” (kita) dan siapa “orang luar/asing” (mereka). Jarak sosial normatif berbeda dari afektif, karena dipahami sebagai aspek struktural non-subyektif dari hubungan sosial.

Dimensi ketiga, interaktif, berfokus pada frekuensi dan intensitas hubungan antar individu atau kelompok. Konsepsi ini menyerupai teori jaringan, di mana frekuensi interaksi antara dua pihak digunakan sebagai ukuran “kekuatan” dari ikatan sosial.

Dimensi keempat berdasarkan modal kultural dan kebiasaan seseorang yang akan membentuk “kelas sosial” tersendiri. Dalam konteks ini, gaya hidup seseorang akan membedakannya dengan orang lain.

Jarak Sosial dan Kualitas Hubungan Sesama

Kita merasakan pentingnya konsep jarak sosial untuk memahami kualitas hubungan antara individu dan kelompok. Jarak sosial bisa menjadi kriteria apakah masyarakat memiliki integrasi sosial yang kuat atau lemah. Bila jarak sosial antar kelompok bersifat jauh, maka integrasi sosial akan melemah. Sebaliknya, jarak sosial yang dekat akan membuat integrasi sosial lebih kuat.

Jarak sosial yang jauh ditandai prasangka (stereotip) yang berkembang antar kelompok. Individu atau kelompok yang memiliki perasaan negatif terhadap individu/kelompok yang berbeda akan membangun prasangka buruk berdasarkan informasi parsial. premiumbola

Jarak sosial yang dekat ditunjukkan dengan rasa simpati dan empati seseorang terhadap orang dan kelompok lain. Perbedaan latar belakang sosial-ekonomi tidak akan merenggangkan hubungan, malah semakin mempererat hubungan karena kesadaran akan kemajemukan dan semangat egaliterian.

Stereotip negatif yang berlangsung lama dan meluas di tengah masyarakat akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu munculnya stigma sosial berupa penolakan terhadap seseorang atau kelompok karena orang tersebut dipandang melawan norma yang ada. Akibat jangka panjang adalah terjadinya diskriminasi sosial.

Dinamika jarak sosial dalam kehidupan sehari-hari harus diperhatikan dan diarahkan. Keakraban antar kelompok berbeda digencarkan, sehingga semua kelompok memahami dan menerima perbedaan serta keunikan di antara mereka, sehingga mampu membangun kesepakatan tentang nilai-nilai bersama.

Itulah manfaat dibangunnya taman kota dengan segala fasilitas bermain dan olahraga, diterapkan car free day (CFD) di jalan-jalan utama, dan digalang aktivitas publik yang melibatkan segenap warga dari latar belakang apapun.

Saat ini, tatkala pandemi global COVID-19 menyerang dunia hingga ke Indonesia, kebijakan sebaliknya yang ditempuh: pembatasan interaksi, penutupan tempat-tempat keramaian umum, serta meliburkan jadwal sekolah/kerja dan agenda publik lain.

Pada tahap awal mungkin pembatasan ini, apalagi liburan, akan disambut ‘gembira’. Padahal sebenarnya hal itu dimaksudkan untuk menghindari penyebaran wabah dengan belajar dan bekerja dari rumah.

Pada gilirannya, kebijakan pembatasan akan memberikan efek psikologi, terutama setelah terlihat hasil yang mungkin berbeda: ada warga tetap sehat dan ada pula warga yang akhirnya terpapar tanpa disadari dari mana sumbernya.

Tiap orang bisa merasakan konsekuensi berbeda dan membandingkan kondisinya dengan orang lain yang lebih beruntung. Dari situlah terbentuk persepsi yang tidak sama antar individu dan kelompok, lalu terbangun jarak sosial berdasarkan perasaan dan empati terhadap individu atau kelompok lain.

Untuk itu, pemerintah tak hanya memberlakukan kebijakan pembatasan sosial, melainkan juga harus memikirkan dan memberikan jaminan perawatan dan mungkin kompensasi bagi warga miskin atau rentan.

Pembatasan Sosial Selama Pandemi COVID-19

Keefektifan Pembatasan Sosial

Pembatasan sosial dalam skala besar akan efektif jika diikuti dengan pemahaman sikap dan emosi yang positif. Semua orang berpeluang terpapar wabah tanpa disadari atau diinginkan, terlepas dari posisi sosial dan jabatan formal.

Seorang pelajar/mahasiswa, ibu rumah tangga atau pejabat tinggi negara bisa menderita gejala serupa. Emosi positif akan mempercepat kesembuhan dan menyehatkan masyarakat secara kolektif.

Ujian terberat adalah ketika seseorang dinyatakan positif terpapar wabah dan mengalami resiko kematian, sehingga jenazahnya akan diperlakukan khusus. Perlakuan khusus itu menimbulkan persepsi yang beragam di tengah masyarakat, yang harus dihindari agar tidak menjadi stigma sosial baru.

Masyarakat Indonesia telah mengalami beragam bencana, bahkan yang paling dahsyat sepanjang sejarah manusia seperti meletusnya Gunung Tambora (1815) dan Gunung Krakatau (1883). Wabah cacar terjadi di Bali, Ambon dan Ternate (1871) menimbulkan korban meninggal sedikitnya 18.000 orang. Pada tahun 1821 wabah kolera melanda Batavia dan menyebabkan ratusan orang meninggal.

Di tengah bencana, warga membangun spirit solidaritas genuin semisal membagikan masker gratis atau hand sanitizer untuk tempat ibadah dan fasilitas publik. Percakapan di media sosial juga sangat banyak yang positif untuk menerapkan pola hidupan bersih dan sehat (PHBS), tips mencegah tersebarnya wabah, dan aksi-aksi produktif atau kreatif yang bisa dilakukan di rumah.

Bila warga Wuhan di China meneriakkan “Wuhan Jiayou” (Tetap Semangat Wuhan) dari jendela apartemen, dan warga Italia bermain musik bersama dari balkon rumahnya, maka warga Indonesia punya tradisi sendiri untuk menunjukkan solidaritas. Ada yang melakukan doa berantai atau membuat pesan kepedulian dalam bentuk pantun, meme dan kartun.

Virus corona ini mungkin akan memisahkan kita secara fisik sementara waktu, namun mempersatukan hati dan pikiran kita.